Nagaro: Sebuah Pembuka
Pecahan kedua dari pertama
Aku tidak mengerti mengapa siswi perempuan sangat membenciku. Tidakkah bisa menjadi kawan?
Padahal aku sudah menolak semua lelaki… huh… susah juga kalau begini.
Mungkin dalam seminggu bisa ada 2 atau 3 orang yang menyatakan perasaannya kepadaku. Entah mereka adalah kakak kelasku, seangkatanku, ataupun adik kelasku.
Uhm… aku sebenarnya sedikit senang… tetapi… mengorbankan pertemanan hanya demi perasaan bangga semata tidak terlihat begitu bijak.
Huh? Anak itu ada di sana lagi hari ini.
Siapa namanya…? Biar kuingat…
Oh ya, para guru memanggil dia Ian.
Lelaki berkacamata yang tanpa diduga sering menjadi perbincangan para guru.
Aku tidak pernah bercakap dengannya, lebih sering melihatnya dari kejauhan saja.
Pernah suatu kali berpas-pasan dengan Ian — mata kami saling kontak, tetapi tidak ada ekspresi di wajah Ian.
Ian adalah seorang anak SMA yang baru masuk di tahun ini. Tinggi tubuhnya sekitar 7–10 cm diatasku (?). Wajahnya seperti orang malas untuk hidup… atau aku salah menilai wajahnya?
Aku bisa membayangkan ia mengatakan hal seperti, ahh hidup ini membosankan…
Sudahlah, pastinya hari ini dia dan sebotol cappuccino telah melihatku untuk kesekian kalinya menolak para lelaki di belakang sekolah.
Jujur saja, aku sendiri bertanya-tanya sampai kapan mereka akan menyerah?
Apa sampai aku lulus dari sekolah ini tidak akan ada hal yang berubah?
Huh… lebih baik aku pulang ke rumah sekarang… mengingat matahari sudah mau terbenam…
Ian…
Sampai jam berapa dia disana?
Mencoba untuk mengarang sebuah pembuka — akan dilanjutkan.